Jika Hadiah Untuk Guru adalah Awal Mula Gratifikasi

Sebentar lagi dunia pendidikan akan menggelar hajatan besar: Ujian Akhir Semester (UAS) sebagai penentu kenaikan kelas. Seperti biasanya, momen ini memunculkan fenomena tahunan: siswa dan orang tua memberikan hadiah kepada guru. Secara sepintas, ini tampak sebagai bentuk penghargaan. Namun, praktik ini terus memunculkan pro dan kontra.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui situs resminya (aclc.kpk.go.id) pernah mengingatkan bahwa pemberian hadiah orang tua atau murid kepada guru – terutama di momen penilaian kenaikan kelas seperti ini – bisa tergolong gratifikasi. Menurut menurut laporan Kumparan tahun 2024, sekitar 65% sekolah di Indonesia masih mempertahankan kebiasaan ini, yang dianggap berisiko menimbulkan konflik kepentingan.
Namun di sisi lain, sejumlah tokoh agama dan pendidik menilai bahwa tidak semua budaya baik – seperti pemberian hadiah pada guru ini – perlu dihapus. Dalam artikel di annajah.org, disebutkan bahwa selama niatnya tulus dan tidak terkait dengan kepentingan tertentu, hadiah kepada guru bisa menjadi wujud penghormatan dan cinta. Nah, jadi sebenarnya, bagaimana kita menyikapi persoalan ini? Mari kita kupas lebih dalam.
Hadiah Itu Asalnya Baik, Kok
Kalau kita balik ke ajaran Islam, memberi hadiah itu ibarat menyiram air ke tanah kering – menumbuhkan cinta dan kasih sayang. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594). Artinya, hadiah itu mulia, bukan masalah atau dosa.
Dalam Islam, hadiah masuk dalam akad tabarru’ alias pemberian sukarela, tanpa pamrih. Imam Nawawi menyebut, hadiah itu bisa jadi berkah, selama niatnya tulus dan tidak merugikan pihak lain.
Di budaya kita pun, memberi hadiah ke guru, ustaz, atau tokoh masyarakat sudah menjadi tradisi. Niatnya baik: wujud rasa terima kasih. Tapi zaman sekarang beda, terkadang di balik kado ada maksud tersembunyi. Dan di sinilah hadiah bisa berubah wajah.
Ketika Hadiah Jadi Alat Main Mata
Masalah muncul ketika hadiah bukan lagi sekadar ucapan terima kasih, tapi jadi “senjata” untuk cari muka, menyuap halus, atau nyogok demi kepentingan tertentu. Nah, hadiah jenis ini yang oleh hukum disebut gratifikasi.
Menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi itu segala bentuk pemberian kepada penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan dan bisa menimbulkan konflik kepentingan. Nah, guru sebagai ASN atau pegawai negeri termasuk dalam kategori ini.
KPK bahkan mewanti-wanti soal ini. Di dalam situs resminya (aclc.kpk.go.id), KPK menyebut bahwa hadiah kepada guru, apalagi saat momen penilaian seperti kelulusan atau kenaikan kelas, rentan jadi gratifikasi. Survei KPK tahun 2024 juga menyebutkan, 65% sekolah di Indonesia masih punya kebiasaan beri hadiah kepada guru – yang ternyata bisa melanggar etika dan hukum (kumparan.com, 2024).
Rasulullah SAW pun pernah mengingatkan: “Hadiah bagi pegawai adalah pengkhianatan” (HR. Ahmad 5:424). Ini karena orang yang sudah digaji untuk melayani, lalu masih menerima hadiah, bisa saja tergoda untuk tidak netral.
Ayo Melek Hadiah & Gratifikasi
Agar tidak salah kaprah, penting bagi kita semua – baik guru, siswa, orang tua – paham betul beda antara hadiah tulus dan gratifikasi. Edukasi harus jalan, mulai dari sekolah sampai ke rumah. Penghargaan itu tidak harus selalu berbentuk barang. Kadang cukup dengan ucapan terima kasih, tulisan kecil, atau bahkan doa yang tulus.
Sekolah-sekolah juga sebaiknya punya aturan jelas tentang ini. Buat pedoman, edukasi guru dan wali murid, dan bangun budaya penghargaan yang sehat. Pemerintah pun mesti terus mengampanyekan integritas dan etika profesi.
Jika Hadiah adalah Awal Mula Gratifikasi…
…maka bukan berarti semua hadiah itu haram. Tapi kita harus hati-hati. Hadiah dan gratifikasi adalah dua hal yang berbeda. Yang membedakan adalah niat, konteks, dan akibat dari pemberian itu. Kalau hadiah diberikan secara tulus, tidak dalam situasi yang memengaruhi keputusan profesional, maka itu tetap indah dan berpahala.
Namun, kalau hadiah diselipkan dalam relasi kuasa, dibarengi maksud tersembunyi, atau ada potensi memengaruhi keadilan dan kejujuran, maka ia bukan hadiah lagi – ia adalah gratifikasi, dan itu haram.
Jadi, mari kita jernihkan niat, kuatkan edukasi, dan tegaskan batas. Hadiah tetap bisa jadi amal, asal tidak jadi alat.